Dia seorang guru di Pulau Untung Jawa, Kepulauan Seribu. Selepas dzuhur hingga magrib dia mengajar anak-anak pulau belajar agama. Beberapa jam kemudian, dia berubah menjadi pedagang ikan yang berjualan hingga Muara Angke, Jakarta Utara.
Muridnya lebih dari 135 orang. Gajinya tidak dalam bentuk rupiah, karena memang tidak ada yang menggajinya. Madrasah diniyah yang dia dirikan adalah inisiatifnya setelah lulus dari Ponpes Al-Mahbubiyah, Cilandak, Jakarta Selatan. Abdul Malik (30) benar-benar menerapkan plesetan kata 'mengaji' yang dulu sering dia dengar waktu masih nyantri: 'mengabdi tanpa digaji'.
Muridnya lebih dari 135 orang. Gajinya tidak dalam bentuk rupiah, karena memang tidak ada yang menggajinya. Madrasah diniyah yang dia dirikan adalah inisiatifnya setelah lulus dari Ponpes Al-Mahbubiyah, Cilandak, Jakarta Selatan. Abdul Malik (30) benar-benar menerapkan plesetan kata 'mengaji' yang dulu sering dia dengar waktu masih nyantri: 'mengabdi tanpa digaji'.
Tahun 1998, Abdul Malik, saat baru lulus, merasa prihatin dengan kondisi anak-anak
pulau yang wala-wala (tidak tahu apa-apa soal agama). Dengan berbekal kepercayaan diri, dia mulai mengajar anak-anak, melakukan kampanye door to door, mempromosikan dirinya sebagai guru ngaji.
Tahun demi tahun, muridnya terus bertambah, dan dia pun merekrut teman-teman almamaternya di pesantren untuk mengabdi bersamanya. "Gajinya sementara dari Allah saja, ya. Kalau soal makan, insya Allah orang pulau masih bisa masak nasi," katanya setiap kali menghubungi rekannya untuk dijadikan calon guru di madrasahnya.
Sambil terus berdagang dan menjual ikan, Abdul Malik pun menyambi sebagai tour guide kecil-kecilan, mempromosikan pulaunya ke turis-turis lokal yang datang baik dari arah Ancol maupun Tanjung Pasir. Dari profesi amatirannya ini, dia banyak berkenalan dengan orang-orang dan mulai banyak yang simpati dengan perjuangannya.
"Setiap ada kenalan yang datang ke pulau, saya cerita tentang madrasah," tuturnya di depan warung lesehan yang menjual hidangan laut. Warung makan itu milik encang-nya. Abdul Malik juga ikut bantu-bantu di warung makan itu.
Malik menikah tahun 2008 dan sudah memiliki seorang putri berusia 2 tahun. Pernikahannya dia ibaratkan sebuah bahtera perjuangan karena dia tidak punya penghasilan tetap, tapi punya banyak pengeluaran tetap, terutama untuk membiayai madrasahnya.
Ungkapan lillahi ta’ala ternyata tidak seindah di bibir seperti yang sering orang lafalkan. Bagi Abdul Malik, lillahi ta’ala adalah perjuangan dalam harap dan cemas. “Lillahi ta’ala kalau duit tidak ada, tetap saja cemas. Anak-istri kan butuh makan,” katanya. “Alhamdulillah, sekarang sudah ada orang yang berinfak rutin untuk 10 orang guru di madrasah Rp 100 ribu sebulan,” kata dia.
Tahun 2007, dia mulai 'berani' mengirim anak-anak dhuafa di pulau untuk sekolah di Jakarta. Modalnya cukup silaturahim dengan pemilik yayasan sekolah. Diakuinya, membiayai 13 orang anak di sebuah SMK swasta memang berat, bahkan 4 orang di antaranya sudah gugur di tengah jalan. Sekarang sisanya yang 8 orang sudah selesai ujian, tapi tidak dapat mengambil ijazah karena belum membayar beberapa kewajiban.
"Saya nunggak SPP dan makan selama 1 tahun, jumlahnya Rp 27 juta. Siang-malam saya pontang-panting cari bantuan kalau perlu berutang demi anak-anak itu. Alhamdulillah, lewat kebaikan salah satu kenalan saya, ada restoran siap saji yang sudah membayari Rp 30 juta, yang langsung ditransfer ke rekening sekolah," kisahnya setengah pilu. Tagihan uang ijazah sebesar Rp 16,2 juta juga sudah berhasil dilunasi sebagian. Sekarang tinggal Rp 5,7 juta.
"Saya masih jualan ikan dan mengharap uluran tangan orang-orang berada," harapnya. Sekarang Abdul Malik dan istrinya menempati rumah salah satu kerabatnya yang sedang merantau ke luar pulau. "Anak saya masih kecil, saya juga baru 30 tahun, tentu jalan saya masih panjang dan saya tidak boleh mundur ke belakang," katanya bertekad.
Sumber : Republika